Oleh: Cepy Suherman
Analisis fundamental adalah salah satu analisis yang umumnya
digunakan para investor untuk membantu keputusan dalam jual beli saham. Analisis
ini mempelajari mengenai kondisi fundamental perusahaan. Melalui analisis
fundamental kita bisa mengetahui apakah suatu saham sedang diperdagangkan pada
harga yang murah atau mahal.
Sebelum kita berinvestasi ada baiknya kita mempelajari
terlebih dahulu mengenai kondisi dasar (fundamental) sebuah perusahaan, baik
secara kuantitatif (keuangan), maupun kualitatif (non-keuangan). Dari sisi
keuangan misalnya, ada banyak rasio analisis fundamental yang dapat digunakan
untuk menilai kesehatan sebuah perusahaan. Dengan adanya rasio-rasio tersebut
kita dapat menilai kondisi fundamental perusahaan tanpa perlu membaca laporan
keuangannya.
Ada banyak rasio analisis fundamental yang bisa kita
pelajari untuk membantu pembuatan keputusan dalam berinvestasi. Namun pada tulisan
ini kita hanya akan membahas 5 rasio analisis fundamental yang wajib diketahui
investor saham. Apa saja rasio-rasionya? Yuk kita pelajari satu persatu.
1. EPS (Earnings Per Share)
Secara sederhana EPS (Earnings Per Share) dapat diartikan sebagai laba bersih per saham suatu perusahaan. Cara
menghitungnya pun mudah, yaitu laba bersih perusahaan dibagi dengan jumlah
seluruh saham yang beredar.
http://knowledgegrab.com |
EPS merupakan analisis penting pertama yang harus
diperhatikan dalam analisis fundamental perusahaan. Besarnya EPS menggambarkan mengenai besarnya
laba bersih yang akan diterima para pemegang saham dalam tiap lembar sahamnya. Nilai EPS yang tinggi biasanya menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi investor
dalam memilih saham yang akan dibeli.
EPS sebuah
saham dapat memberikan informasi pada kita mengenai seberapa jauh kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba untuk tiap lembar saham yang beredar. Banyak
investor menganggap bahwa besarnya EPS menjadi salah satu indikator
keberhasilan sebuah perusahaan. Tingginya EPS tentu akan menyenangkan calon
investor, karena kemungkinan mereka akan menerima laba yang besar.
Namun perlu diketahui, EPS bukanlah satu-satunya alat
penilai keberhasilan perusahaan. Selain itu, besarnya EPS yang didistribusikan
pun sangat tergantung kebijakan perusahaan dalam hal pembayaran dividen.
Kebijakan ini biasanya diambil dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
http://golscacoaching.in |
Perusahaan dengan EPS tinggi memang dianggap mampu
memberikan “kesejahteraan” yang tinggi bagi pemegang sahamnya. Namun
tidak selamanya saham dengan EPS tinggi akan membagikan dividen yang tinggi
pula pada pemegang sahamnya. Semua tergantung dividend policy perusahaan tersebut.
Bisa saja perusahaan memiliki EPS yang tinggi namun dividen
yang diterima pemegang saham justru kecil. Ini menandakan bahwa perusahaan
lebih memilih untuk menahan sebagian labanya dan menginvestasikan kembali laba
tersebut untuk mendukung pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang.
2. PER (Price
Earnings Ratio)
Price Earnings Ratio
(PER) termasuk parameter paling dasar dalam analisis fundamental. Secara
sederhana PER dapat diartikan sebagai perbandingan harga saham terhadap laba
bersih per lembar perusahaan.
cdn.corporatefinanceinstitute.com |
Menghitung PER tidaklah terlalu sulit. Caranya yaitu dengan
membagi harga saham dengan EPS perusahaan yang dilaporkan pada laporan keuangan
terakhir. Misalnya harga saham BRI (kode saham: BBRI) saat tulisan ini dibuat
adalah 4.110 dan EPS-nya 275, maka PER BBRI adalah 4.110/275 yaitu sebesar 14,95 kali. Dengan demikian, kita bisa
mengatakan bahwa harga saham BBRI adalah 14,95 kali laba bersih yang dihasilkan
perusahaan.
Ada juga cara alternatif dalam menghitung PER, yaitu dengan
menggunakan data perusahaan secara umum. Penghitungan nilai PER dapat dilakukan
dengan cara membagi kapitalisasi pasar perusahaan dengan total pendapatan
perusahaan.
i.ytimg.com |
Biasanya semakin tinggi nilai PER, maka semakin mahal saham
tersebut. Dan Investor pada umumnya lebih senang memilih saham dengan PER yang
rendah, karena laba per sahamnya relatif lebih tinggi dibanding dengan saham
yang PER-nya tinggi.
Saham dengan nilai PER yang terlalu tinggi cenderung
dihindari investor. Hal ini dikarenakan PER yang terlalu tinggi itu
mencerminkan harga saham yang sudah overvalued
atau overpriced. Lalu berapa angka
PER yang wajar? Jawabannya adalah tidak ada yang pasti. Tiap investor memiliki
patokan nilai yang berbeda-beda.
i1.wp.com |
Nilai
wajar PER tidaklah sama untuk semua saham, tergantung karakteristik/sektor
usahanya. Tapi sebagai patokan saja, jika nilai PER di atas 14 atau 15
cenderung dianggap relatif mahal. Begitupun sebaliknya. Namun menilai saham
murah hanya karena PER-nya rendah pun tidaklah cukup. Kita harus menganalisis
kembali sektor usaha dan fundamental perusahaan tersebut. Jangan sampai saham
yang kita anggap murah malah sebenarnya adalah murahan.
3. ROE (Return
on Equity)
Return on Equity (ROE)
merupakan salah satu rasio analisis yang sudah tidak asing di dunia investasi. Rasio
ini menunjukkan tingkat efektivitas manajemen perusahaan dalam menghasilkan
laba dari dana yang diinvestasikan perusahaan. Semakin besar ROE menandakan
semakin besar laba yang dihasilkan dari sejumlah dana yang diinvestasikan.
ROE dihitung dengan cara membandingkan laba bersih setelah
pajak dengan ekuitas yang telah diinvestasikan pemegang saham perusahaan. ROE
mengukur seberapa efisien sebuah perusahaan menggunakan uang dari pemegang
saham untuk menghasilkan keuntungan.
cdn.wallstreetmojo.com |
Setiap investor tentunya menginginkan tingkat pengembalian
yang tinggi, yang ditandai dengan ROE yang tinggi. Biasanya saham dengan ROE di
atas 15% dianggap saham yang menguntungkan. Dan sebaiknya hindarilah saham
dengan ROE kurang dari 5% karena diyakini kurang prospektif.
Nilai ROE untuk tiap sektor sangatlah berbeda, karena setiap
perusahaan di industri yang berbeda memiliki investasi dan pendapatan yang
berbeda-beda pula. Jadi, sebaiknya pembandingan ROE hanya dilakukan pada
perusahaan-perusahaan dengan ukuran dan industri yang sama. Umumnya perusahaan
yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi cenderung memiliki ROE yang tinggi
karena mampu menghasilkan pendapatan tambahan tanpa perlu didanai pihak
eksternal.
www.thebalance.com |
4. PBV (Price
to Book Value)
Rasio analisis fundamental keempat yang wajib diketahui
investor saham adalah Price to Book Value
(PBV). PBV merupakan parameter yang menggambarkan rasio harga saham terhadap
nilai buku (book value) perusahaan.
Tujuan menghitung PBV adalah untuk mengetahui seberapa mahal atau murah kah
harga saham dari suatu perusahaan saat ini.
Nilai buku atau book
value merupakan gambaran mengenai perkiraan nilai suatu perusahaan apabila
suatu perusahaan terpaksa dilikuidasi. Nilai buku diperoleh dari data nilai
aset perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan, yang dihitung dengan
cara mengurangkan kewajiban perusahaan dari nilai asetnya (Nilai Buku = Aktiva
– Kewajiban).
cdn.wallstreetmojo.com |
Misal dalam neraca PT. Mulia tercatat total aset
Rp9.000.000.000,00, total kewajiban Rp2.500.000.00, dan modal sendiri
Rp6.500.000.000,00. Sementara jumlah saham yang beredar sebanyak 10.000.000
lembar saham. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa nilai buku perusahaan
adalah Rp6.500.000.000,00 atau Rp650,00 per lembar saham.
Andaikan jika nilai pasar saham perusahaan tersebut saat ini
hanya sebesar Rp500,00 per lembar saham, maka saham perusahaan tersebut dapat
dikatakan layak dibeli. Meski demikian, jika memang terjadi likuidasi, nilai
aset perusahaan biasanya tidak harus selalu sama dengan nilai yang tercatat di
laporan neraca. Bisa lebih tinggi, bisa juga lebih rendah. Nilai buku hanya
membantu memberikan gambaran mengenai risiko kepada investor andaikan
perusahaan ditutup.
Saham yang mempunyai nilai PBV “1” menandakan bahwa harga
pasar dan nilai bukunya sama. Sementara itu jika nilai PBV-nya di atas “1” maka
saham tersebut biasanya dianggap mahal. Begitupun sebaliknya. Kembali ke contoh
PT. Mulia tadi, bahwa nilai PBV dapat dihitung dengan cara: Rp500,00/Rp650,00 =
0,77 kali.
image.slidesharecdn.com |
Perlu diketahui, penggunaan PBV sangat cocok digunakan pada
perusahaan yang memiliki aset tetap berwujud (tangible assets) yang besar. Penghitungan PBV tidak memberikan
nilai kepada aset tidak berwujud seperti brand,
goodwill, atau prospek kinerja yang
bagus di masa yang akan datang.
5. DER (Debt
to Equity Ratio)
Rasio analisis fundamental kelima yang tidak kalah
pentingnya yaitu Debt to Equity Ratio
(DER). Rasio ini menggambarkan perbandingan antara jumlah kewajiban dengan
jumlah modal bersih yang dimiliki perusahaan. Melalui DER, kita dapat
mengetahui kemampuan perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya dengan
menggunakan seluruh aset yang dimilikinya.
cdn.wallstreetmojo.com |
Angka DER menggunakan satuan “kali” atau bisa juga dalam
satuan persen. Misal sebuah perusahaan memiliki modal bersih sebesar Rp1
trilyun, sementara total kewajibannya sebesar Rp400 milyar, maka nilai DER-nya
yaitu: Rp400 Milyar / Rp1 trilyun = 0,4 kali atau 40%.
Perusahaan yang sehat ditandai dengan DER yang di bawah 1
kali atau di bawah 100%. Biasanya semakin rendah DER maka semakin bagus. Artinya
angka DER yang rendah menunjukkan kemampuan perusahaan yang semakin baik dalam
membayar kewajiban jangka panjangnya. Hal ini karena sumber modal perusahaan
tidak terlalu bergantung dengan pihak luar, sehingga tidak terlalu membebani
perusahaan akibat utang.
www.wikihow.com |
Dalam menganalisis DER, kita harus jeli menentukan apakah
utang perusahaan tersebut berasal dari utang jangka pendek atau utang jangka
panjang. Jika utang lancar (utang jangka pendek) lebih besar dibanding utang
jangka panjang, hal ini masih bisa diterima. Utang lancar ini biasanya terkait
dengan operasional perusahaan yang bersifat jangka pendek, contohnya adalah
utang usaha kepada supplier atau
utang akibat pendapatan diterima di muka.
Lain halnya jika yang lebih
besar adalah utang jangka panjang, yang diperoleh dari pinjaman bank atau
penerbitan obligasi. Perusahaan tentu akan terus menanggung kewajiban
pembayaran pokok dan bunga pinjaman sampai utangnya lunas. Kondisi tersebut
akan memperberat beban perusahaan karena dapat menekan laba perusahaan dan
mengganggu likuiditas di masa mendatang.
cdn.corporatefinanceinstitute.com |
Perlu kamu ketahui juga bahwa
perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa keuangan seperti bank, asuransi, dan
perusahaan investasi cenderung memiliki DER yang tinggi. Hal ini karena
perusahaan-perusahaan tersebut memiliki dana kelolaan yang berasal dari pihak
ketiga. Dalam akuntansi, dana pihak ketiga ini dianggap sebagai
utang/kewajiban. Jadi wajar jika jenis perusahaan tersebut memiliki DER yang tinggi.
Tapi justru semakin banyak dana pihak ketiga yang mereka kelola, peluang
memperoleh laba pun akan semakin tinggi. Dengan demikian, penggunaan DER pada
perusahaan asuransi dan bank dianggap kurang cocok.
Nah, dari penjelasan tadi, kamu sekarang sudah mulai paham kan mengenai pentingnya rasio analisis fundamental? Dengan menggunakan rasio-rasio tersebut, kamu bisa menilai kinerja dan kesehatan suatu perusahaan, sehingga investasi yang kamu lakukan dapat lebih objektif dan terarah. Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar